Breaking News

Friday, June 23, 2017

Sejarah Perbankan Syariah

   Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam entuk simpanan dan menyaurkannya kepada masyarakat dalam menyalurkannya kepada masyaraka dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat (Pasal 1 angka 2 UU Perbankan Syariah)

   Dana dari masyarakat yang disimpan dalam bentuk rekening giro, deposito, dan/atau tabungan kemudian dihimpun dan dikelola oleh bank. Simpanan yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank tersebut kemudian disalurkan oleh bank dalam bentuk pembiayaan kepada masyarakat yang membutuhkan dana. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (selanjutnya disebut UU Perbankan Syariah), tujuan penyaluran dana oleh perbankan Syariah adalah menunjang pelaksanaan pembangunan, meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

    Dapat disimpulkan bahwa fungsi bank adalah sebagai lembaga perantara (intermediary institution) yang menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Selanjutnya yang dimaksud dengan perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. (Pasal 1 Angka 1 UU Perbankan Syariah).

   Berdasarkan pengertian perbankan syariah di atas maka terbdapat 3 (tiga) pokok bahasan dari perbankan syariah, yaitu tentang kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usaha bank syariah.

   Dari segi kelembagaan, ada dua jenis bank Syariah, yaitu Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) sedangkan bentuk hukum bank syariah adalah Perseroan Terbatas (PT). Terdapat perbedaan dengan bentuk hukum bank umum konvensional yang dapat berupa Perseroan Terbatas,  Koperasi atau Perusahaan Daerah (Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 selanjutnya disebut UU Perbankan).

   Dari segi kegiatan usaha, bank BUS maupun BPRS pada dasarnya sama dengan kegiatan usaha bank konvensional, yaitu meliputi 3 (tiga) kegiatan utama: pertama, dalam bidang pengumpulan dana masyarakat dalam bentuk simpanan/investasi (liability product), kedua, dalam bidang penyaluran dana kepada masyarakat (assets product), dan kegiatan ketiga berupa pemberian jasa-jasa bank (services product).

     Karena itu, dari segi kelembagaan dan kegiatan usaha, antara bank konvensional dan bank syariah tidak banyak bedanya, yang membedakan antara bank konvensional dan bank syariah adalah cara dan proses melakukan usahanya, yaitu bank konvensional melakukan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip hukum secara konvensional yang pendapatannya berdasarkan sistem bunga (interest), sedangkan bank syariah melakukan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah tidak mengenal bunga yang pada dasarnya berdasarkan sistem bagi hasil (profit and loss sharing).

   Pada zaman permulaan Islam, lembaga bank belum dikenal. Namun munculnya lembaga penghimpun dan penyalur dana sebagai cikal bakal bank Islam atau bank syariah sebagai lembaga perantara (intermediary institution) sebagaimana tersebut di atas, dapat kita lihat dari sejarah. Pada masa perang di zaman Rasulullah saw., beliau mendapatkan harta rampasan perang yang disebut ghanimah maupun harta rampasan dari negeri yang ditaklukkan tanpa melalui pertempuran disebut faȋ. Pada masa Perang Badar para sahabat Nabi berselisih paham tentang aturan pembagian harta tersebut sehingga turun firman Allah dalam surah Al-Anfal (8) ayat 1 :

يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ الْأَنفَالِ ۖ قُلِ الْأَنفَالُ لِلّٰـهِ وَالرَّسُولِ
Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, “Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul…”

   Pembagian ghanimah adalah berdasarkan surah Al Anfal (8) ayat 41, sedangkan pembagian faȋ berdasarkan surah Al Hasyr (59) ayat 7. (Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Perkata (Maghfirah Pustaka, Jakarta, 2009), h. 545)

QS. Al Anfal (8): 41 berbunyi sebagai berikut :
وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَا غَنِمۡتُم مِّن شَيۡءٖ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُۥ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ
Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang (ghanimah), maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil…

QS. Al Hasyr (59):7 berbunyi sebagai berikut:
مَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ
Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan…

   Melalui ayat-ayat diatas, Allah menjelaskan hukum pembagian harta yang diperoleh pada asa peperangan dan menetapkannya sebagai hak bagi seluruh kaum muslimin. Selain itu, Allah memberikan wewenang kepada Rasulullah untuk membagikannya sesuai dengan pertimbangan beliau untuk kemaslahatan kaum muslimin. Hal tersebut sesuai dengan hadis dari Abu Hurairah ra., dari Rasulullah saw., sabdanya: “Setiap negeri yang engkau taklukkan tanpa pertempuran, maka engkau mendapat bagian atas harta rampasannya, dan setiap negeri yang engkau taklukkan dengan pertempuran, maka seperlima harta rampasannya untuk Allah dan Rasul-Nya, kemudian sisanya untuk kamu sekalian.” (Syekh H. Abd Syukur Rahimy, Shahiih Muslim (Klang Book Centre, Nurprima Sdn. Bhd., 2007), terjemahan oleh Ma’mur Daud, cetakan kedelapan 2007, jilid III. h. 282).

    Dengan demikian, harta yang didapat pada masa perang tersebut menjadi hak bagi baitul mal yang pengelolaannya dilakukan oleh Rasululllah. Harta yang didapat pada masa perang oleh kaum muslimin pada zaman Rasulullah, selesai pertempuran oleh Rasulullah dibagikan sampai habis, begitu juga pada zaman Khalifah Abu Bakar dan pada permulaan kekhalifahan Umar bin Al-Khattab. Dengan bertambahnya kawasan yang ditaklukkan, kekayaan yang didapat pada masa perang pun semakin banyak, belum lagi pendapatan dari pajak tanah (kharaj) yang dibayarkan oleh petani dan pajak yang dibayarkan oleh penduduk non-muslim (jizyah) untuk tiap-tiap kepala.

   Pada zaman Khalifah Umar bin Al-Khattab, kekayaan dan pendapatan yang terkumpul sebagai baitul mal tersebut dicatat dan disalurkan untuk keperluan dakwah dan syiar Islam serta kemaslahatan rakyat banyak, seperti membangun bendungan, memberikan tunjangan kepada pejabat pemerintah dan tentara (Muhammad Husain Haekal, Umar Bin Khattab (Pustaka Litera Antar Nusa, Bogor, 2003), diterjemahkan oleh Ali Audah, h. 675). Sumber pendapatan Keuangan Negara pada zaman Nabi selain ghanimah, juga khuns (pajak atas kekayaan), zakat, jizyah, kharaj.

   Pada masa itu orang-orang yang menyebarkan agama dan pejabat Negara mendapatkan gaji dari dana tersebut, baitul mal yang dibentuk pada awal pemerintahan masih berbentuk pusat pengumpulan dana dan pembagian kekayaan publik yang belum melembaga.Baitul mal dalam arti Kantor Perbendaharaan Negara baru dibentuk pada pemerintahan Khalifah Umar bin Al-Khattab (634-644 M) (Karnaen A. Perwataatmadja, Anis Byarwati, Rekonstruksi Pemikiran Ekonomi Islam Masa Lalu ke Dalam Pemahamanan Ekonomi Masa Kini, UIN Jakarta, h. 19).

  Fungsi baitul mal sebagai lembaga yang mengumpulkan harta dan menyalurkannya untuk kemaslahatan rakyat tersebut, menurut hemat Penulis identik dengan fungsi bank sebagai lembaga intermediary, yaitu sebagai penyimpan dan penyalur dana masyarakat sebagaimana telah diuraikan di atas. Karena itu, berdasarkan sejarahnya, dapat dikatakan bahwa baitul mal merupakan cikal bakal dari lahirnya perbankan syariah.

   Terminologi baitu al-mal wa al-tamwil berasal dari 2 (dua) kata, yaitu baitu al-mal dan baitul tamwil. Istilah al-mal dari kata bait berarti bangunan atau rumah, sedangkan al-mal artinya harta benda atau kekayaan. Jadi baitu al-mal berarti rumah harta benda atau kekayaan. Namun, baitul mal juga diartikan sebagai perbendaharaan (umum atau negara). Sedangkan baitul mal dilihat dari istilah fikih adalah suatu lembaga yang bertugas mengurusi kekayaan negara terutama keuangan, baik berkenaan dengan pemasukan dan pengelolaan, maupun yang terkait dengan pengeluaran (Harun Nasution, et al., Ensiklopedia Islam Indonesia (Jambatan, Jakarta, 1992)). Sedangkan baitul tamwil berarti rumah penyimpanan harta milik pribadi yang dikelola oleh suatu lembaga.

   Pada masa sekarang, lembaga swadaya masyarakat baitul mal wat tamwil (BMT) membantu membangun sumber pelayanan keuangan guna mendorong dan mengembangkan usaha produktif guna meningkatkan taraf hidup para anggota dan keluarganya (Suhrawadi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam (Sinar Grafika, Jakarta, 2000), h. 114). Melihat tujuan BMT tersebut, ada kesamaan tujuan lembaga BMT dengan tujuan lembaga koperasi. Sampai saat ini kelembagaan BMT sebagaimana lembaga-lembaga keuangan mikro lainnya, belum diatur secara jelas. Dalam praktik, ada beberapa BMT yang mendirikan Perhimpunan Baitul Maal Wat Tamwil Indonesia (BMT Center).

   Kemudian BMT Center ini menginisiasi dan mengembangkan sebuah lembaga permodalan yang dinamakan PT Permodalan BMT untuk menjalankan fungsi wholesaler dan/atau pool of fund, termasuk disini adalah penjaminan. Badan hukum dari lembaga ini adalah ventura. Lembaga ini bergerak dalam bidang investasi, pembiayaan, dan program kemitraan (linkage program). Di samping itu ada juga BMT yang menjadi Induk Koperasi Syariah Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) dan telah mendapat pembiayaan dari Bank DKI (http://permodalanbmt.com/bmtcenter, lihat juga http://economy.okezone.com).

  Sebagai perbandingan, koperasi primer yang berbadan hukum dan didirikan oleh sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang yang mempunyai kegiatan dan kepentingan ekonomi yang sama dan ketersediaan modal yang jumlahnya sekurang-kurangnya sebesar simpanan pokok dan simpanan wajib yang dilunasi oleh para pendiri, sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menkop dan UKM No. 01/Per/MKUKM/I/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembentukan, Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi. Sedangkan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang berbentuk hukum perseroan terbatas dengan modal paling kurang Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk BPRS yang didirikan di wilayah DKI Jakarta dan Kabupaten/Kota Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek); Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk BPRS yang didirikan di wilayah ibukota provinsi di luar wilayah DKI/Bodetabek; dan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk BPRS yang didirikan di luar wilayah DKI/Bodetabek, sebagaimana diatur dalam PBI No. 11/23/PBI/2009 tentang BPRS. Karena itu, mengenai BMT ini sebaiknya segera dibuat undang-undang khusus, atau apabila memenuhi persyaratan dapat mengubah bentuk badan usahanya menjadi koperasi primer atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

    Selain baitul mal, dikenal juga istilah jihbiz yang berasal dari bahasa Persia yang artinya penagih pajak. Jihbiz sendiri mulai dikenal pada zaman Mu’awiyah, yang berfungsi sebagai penagih pajak dan penghitung pajak atas barang dan tanah. Kemudian pada zaman Bani Abbasiyah, jihbiz sebagai individu populer sebagai profesi yang berkenaan dengan penukaran uang. Pada zaman itu kemudian berkembang jihbiz yang melakukan penukaran uang, menerima titipan dana, dan meminjamkan uang (Karim Business Consulting, 2001, Islam dan Perbankan Syariah).

   Selanjutnya mengenai Keuangan Negara Islami ini secara konsisten telah dibahas oleh para pemikir-pemikir Islam dalam Fase Pertama, mulai dari Abu Yusuf (731-798M) dalam Kitab Al-Kharaj, Muhammad Bin Hasan Al-Syaibani (750-804 M) dalam Kitab al-iktisan fi’il Rizq al-Mustatab, Abu ‘Ubaid al-Qasim Ibn Sallam (838 M) dalam Kitab al-Amwal, Mawardi (1058 M) dalam buku Al-Ahkam al-Sultaniyyah. Hal itu berlanjut pada Fase Kedua oleh Imam Al-Ghazali (1055-1111 M) dalam buku Ihya’ Ulum al-Din, Ibn Taimiyah (1263-1328 M) dalam bukunya Al-siyasah al-Shari’ah fi Islah al-Rab’iayah, Ibn Khaldun (1332-1404 M) dalam bukunya Muqaddimah. Pada Fase Ketiga dilanjutkan oleh Shah Wali Allah (1703-1762 M) dengan bukunya Hujjah Allah al-Balighah, Muhammad Iqbal (1873-1938 M) dalam bukunya Puisi (poet) dari Timur, dan fase sekarang sejak tahun 1932 (Karnaen A. Perwataatmadja, “Alur Pemikiran Ekonomi Islam Menurut Urutan Waktu”, UIN Jakarta, 2006).


    Konsep teoritis tentang bank Islam modern kemudian muncul pada 1940, dan gagasan lebih konkret disampaikan oleh Anwar Qureshi (1946), Naiem Sidiqi (1948), Mahmud Ahmad (1952), dan Muhammad Hamidullah (1962). Kemudian Malaysia mendirikan Pilgrim’s Managemen Fund (1962), Mit-Ghamr, Mesir (1963). Gagasan berdirinya bank Islam pada tingkat internasional muncul dalam konferensi negara-negara Islam di Kuala Lumpur pada 27 April 1969, dan Bank swasta bebas bunga pertama kali adalah Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank, Mesir (1977), dan Kuwait Finance House (1977). Pada 20 Oktober 1975 Islamic Development Bank (IDB) didirikan secara resmi oleh 22 anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI), termasuk Indonesia (Sutan Remy Sijahdeni, Perbankan Syariah Produ-Produk dan Aspek-Aspek Hukumnya (PT Jayakarta Agung Offset, Jakarta, 2010), h. 47)

No comments:

Post a Comment