Bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam entuk simpanan
dan menyaurkannya kepada masyarakat dalam menyalurkannya kepada masyaraka dalam
bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat (Pasal 1 angka 2 UU Perbankan Syariah)
Dana
dari masyarakat yang disimpan dalam bentuk rekening giro, deposito, dan/atau
tabungan kemudian dihimpun dan dikelola oleh bank. Simpanan yang dipercayakan
oleh masyarakat kepada bank tersebut kemudian disalurkan oleh bank dalam bentuk
pembiayaan kepada masyarakat yang membutuhkan dana. Berdasarkan ketentuan Pasal
3 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (selanjutnya disebut UU
Perbankan Syariah), tujuan penyaluran dana oleh perbankan Syariah adalah
menunjang pelaksanaan pembangunan, meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan
pemerataan kesejahteraan rakyat.
Dapat
disimpulkan bahwa fungsi bank adalah sebagai lembaga perantara (intermediary institution) yang
menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Selanjutnya yang dimaksud dengan
perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank Syariah
dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan
proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. (Pasal 1 Angka 1 UU Perbankan
Syariah).
Berdasarkan
pengertian perbankan syariah di atas maka terbdapat 3 (tiga) pokok bahasan dari
perbankan syariah, yaitu tentang kelembagaan, kegiatan usaha, serta
cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usaha bank syariah.
Dari
segi kelembagaan, ada dua jenis bank Syariah, yaitu Bank Umum Syariah (BUS) dan
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) sedangkan bentuk hukum bank syariah
adalah Perseroan Terbatas (PT). Terdapat perbedaan
dengan bentuk hukum bank umum konvensional yang dapat berupa Perseroan
Terbatas, Koperasi atau Perusahaan
Daerah (Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 selanjutnya
disebut UU Perbankan).
Dari
segi kegiatan usaha, bank BUS maupun BPRS pada dasarnya sama dengan kegiatan
usaha bank konvensional, yaitu meliputi 3 (tiga) kegiatan utama: pertama, dalam
bidang pengumpulan dana masyarakat dalam bentuk simpanan/investasi (liability
product), kedua, dalam bidang penyaluran dana kepada masyarakat (assets product), dan kegiatan ketiga
berupa pemberian jasa-jasa bank (services
product).
Karena
itu, dari segi kelembagaan dan kegiatan usaha, antara bank konvensional dan
bank syariah tidak banyak bedanya, yang membedakan antara bank konvensional dan
bank syariah adalah cara dan proses melakukan usahanya, yaitu bank konvensional
melakukan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip hukum secara konvensional yang
pendapatannya berdasarkan sistem bunga (interest), sedangkan bank syariah melakukan kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip syariah tidak mengenal bunga yang pada dasarnya berdasarkan
sistem bagi hasil (profit and loss sharing).
Pada
zaman permulaan Islam, lembaga bank belum dikenal. Namun munculnya lembaga
penghimpun dan penyalur dana sebagai cikal bakal bank Islam atau bank syariah
sebagai lembaga perantara (intermediary
institution) sebagaimana tersebut di atas, dapat kita lihat dari sejarah.
Pada masa perang di zaman Rasulullah saw., beliau mendapatkan harta rampasan
perang yang disebut ghanimah maupun
harta rampasan dari negeri yang ditaklukkan tanpa melalui pertempuran disebut faȋ. Pada masa Perang Badar para sahabat
Nabi berselisih paham tentang aturan pembagian harta tersebut sehingga turun
firman Allah dalam surah Al-Anfal (8) ayat 1 :
يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ الْأَنفَالِ ۖ قُلِ الْأَنفَالُ
لِلّٰـهِ وَالرَّسُولِ
Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad)
tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, “Harta rampasan perang
itu kepunyaan Allah dan Rasul…”
Pembagian ghanimah adalah berdasarkan surah Al Anfal (8) ayat 41, sedangkan pembagian faȋ berdasarkan
surah Al Hasyr (59) ayat 7. (Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Perkata (Maghfirah
Pustaka, Jakarta, 2009), h. 545)
QS.
Al Anfal (8): 41 berbunyi sebagai berikut :
وَٱعۡلَمُوٓاْ
أَنَّمَا غَنِمۡتُم مِّن شَيۡءٖ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُۥ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ
وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ
Ketahuilah,
sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang
(ghanimah), maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil…
QS.
Al Hasyr (59):7 berbunyi sebagai berikut:
مَّآ
أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡقُرَىٰ فَلِلَّهِ
وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ
Apa
saja harta rampasan (fai) yang
diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka
adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orang-orang yang dalam perjalanan…
Melalui
ayat-ayat diatas, Allah menjelaskan hukum pembagian harta yang diperoleh pada
asa peperangan dan menetapkannya sebagai hak bagi seluruh kaum muslimin. Selain
itu, Allah memberikan wewenang kepada Rasulullah untuk membagikannya sesuai
dengan pertimbangan beliau untuk kemaslahatan kaum muslimin. Hal tersebut
sesuai dengan hadis dari Abu Hurairah ra., dari Rasulullah saw., sabdanya:
“Setiap negeri yang engkau taklukkan tanpa pertempuran, maka engkau mendapat
bagian atas harta rampasannya, dan setiap negeri yang engkau taklukkan dengan
pertempuran, maka seperlima harta rampasannya untuk Allah dan Rasul-Nya,
kemudian sisanya untuk kamu sekalian.” (Syekh H. Abd Syukur Rahimy, Shahiih
Muslim (Klang Book Centre, Nurprima Sdn. Bhd., 2007), terjemahan oleh Ma’mur
Daud, cetakan kedelapan 2007, jilid III. h. 282).
Dengan
demikian, harta yang didapat pada masa perang tersebut menjadi hak bagi baitul mal yang pengelolaannya dilakukan
oleh Rasululllah. Harta yang didapat pada masa perang oleh kaum muslimin pada
zaman Rasulullah, selesai pertempuran oleh Rasulullah dibagikan sampai habis,
begitu juga pada zaman Khalifah Abu Bakar dan pada permulaan kekhalifahan Umar
bin Al-Khattab. Dengan bertambahnya kawasan yang ditaklukkan, kekayaan yang
didapat pada masa perang pun semakin banyak, belum lagi pendapatan dari pajak
tanah (kharaj) yang dibayarkan oleh petani dan pajak yang dibayarkan oleh
penduduk non-muslim (jizyah) untuk
tiap-tiap kepala.
Pada zaman Khalifah Umar bin Al-Khattab, kekayaan dan
pendapatan yang terkumpul sebagai baitul
mal tersebut dicatat dan disalurkan untuk keperluan dakwah dan syiar Islam
serta kemaslahatan rakyat banyak, seperti membangun bendungan, memberikan
tunjangan kepada pejabat pemerintah dan tentara (Muhammad Husain Haekal, Umar
Bin Khattab (Pustaka Litera Antar Nusa, Bogor, 2003), diterjemahkan oleh Ali
Audah, h. 675). Sumber pendapatan Keuangan Negara pada zaman Nabi selain ghanimah, juga khuns (pajak atas kekayaan), zakat, jizyah, kharaj.
Pada masa
itu orang-orang yang menyebarkan agama dan pejabat Negara mendapatkan gaji dari
dana tersebut, baitul mal yang
dibentuk pada awal pemerintahan masih berbentuk pusat pengumpulan dana dan
pembagian kekayaan publik yang belum melembaga.Baitul mal dalam arti Kantor Perbendaharaan Negara baru dibentuk
pada pemerintahan Khalifah Umar bin Al-Khattab (634-644 M) (Karnaen A.
Perwataatmadja, Anis Byarwati, Rekonstruksi
Pemikiran Ekonomi Islam Masa Lalu ke Dalam Pemahamanan Ekonomi Masa Kini,
UIN Jakarta, h. 19).
Fungsi
baitul mal sebagai lembaga yang
mengumpulkan harta dan menyalurkannya untuk kemaslahatan rakyat tersebut,
menurut hemat Penulis identik dengan fungsi bank sebagai lembaga intermediary, yaitu sebagai penyimpan
dan penyalur dana masyarakat sebagaimana telah diuraikan di atas. Karena itu,
berdasarkan sejarahnya, dapat dikatakan bahwa baitul mal merupakan cikal bakal dari lahirnya perbankan syariah.
Terminologi
baitu al-mal wa al-tamwil berasal
dari 2 (dua) kata, yaitu baitu al-mal
dan baitul tamwil. Istilah al-mal dari kata bait berarti bangunan atau rumah, sedangkan al-mal artinya harta
benda atau kekayaan. Jadi baitu al-mal
berarti rumah harta benda atau kekayaan.
Namun, baitul mal juga diartikan
sebagai perbendaharaan (umum atau negara). Sedangkan baitul mal dilihat dari istilah fikih adalah suatu lembaga yang
bertugas mengurusi kekayaan negara terutama keuangan, baik berkenaan dengan pemasukan dan pengelolaan, maupun yang
terkait dengan pengeluaran (Harun Nasution, et al., Ensiklopedia Islam Indonesia (Jambatan, Jakarta, 1992)). Sedangkan
baitul tamwil berarti rumah penyimpanan harta milik pribadi yang dikelola
oleh suatu lembaga.
Pada
masa sekarang, lembaga swadaya masyarakat baitul
mal wat tamwil (BMT) membantu membangun sumber pelayanan keuangan guna
mendorong dan mengembangkan usaha produktif guna meningkatkan taraf hidup para
anggota dan keluarganya (Suhrawadi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam (Sinar Grafika, Jakarta, 2000), h. 114).
Melihat tujuan BMT tersebut, ada kesamaan tujuan lembaga BMT dengan tujuan
lembaga koperasi. Sampai saat ini kelembagaan BMT sebagaimana lembaga-lembaga
keuangan mikro lainnya, belum diatur secara jelas. Dalam praktik, ada beberapa
BMT yang mendirikan Perhimpunan Baitul
Maal Wat Tamwil Indonesia (BMT Center).
Kemudian BMT Center ini
menginisiasi dan mengembangkan sebuah lembaga permodalan yang dinamakan PT
Permodalan BMT untuk menjalankan fungsi wholesaler
dan/atau pool of fund, termasuk
disini adalah penjaminan. Badan hukum dari lembaga ini adalah ventura. Lembaga
ini bergerak dalam bidang investasi, pembiayaan, dan program kemitraan (linkage program). Di samping itu ada
juga BMT yang menjadi Induk Koperasi
Syariah Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) dan telah mendapat pembiayaan dari
Bank DKI (http://permodalanbmt.com/bmtcenter,
lihat juga http://economy.okezone.com).
Sebagai
perbandingan, koperasi primer yang berbadan hukum dan didirikan oleh
sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang yang mempunyai kegiatan dan kepentingan
ekonomi yang sama dan ketersediaan modal yang jumlahnya sekurang-kurangnya
sebesar simpanan pokok dan simpanan wajib yang dilunasi oleh para pendiri,
sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menkop dan UKM No. 01/Per/MKUKM/I/2006
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembentukan, Pengesahan Akta Pendirian dan
Perubahan Anggaran Dasar Koperasi. Sedangkan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
yang berbentuk hukum perseroan terbatas dengan modal paling kurang
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk BPRS yang didirikan di wilayah DKI
Jakarta dan Kabupaten/Kota Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek);
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk BPRS yang didirikan di wilayah
ibukota provinsi di luar wilayah DKI/Bodetabek; dan Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) untuk BPRS yang didirikan di luar wilayah DKI/Bodetabek,
sebagaimana diatur dalam PBI No. 11/23/PBI/2009 tentang BPRS. Karena itu,
mengenai BMT ini sebaiknya segera dibuat undang-undang khusus, atau apabila
memenuhi persyaratan dapat mengubah bentuk badan usahanya menjadi koperasi
primer atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Selain
baitul mal, dikenal juga istilah jihbiz yang berasal dari bahasa Persia
yang artinya penagih pajak. Jihbiz
sendiri mulai dikenal pada zaman Mu’awiyah, yang berfungsi sebagai penagih
pajak dan penghitung pajak atas barang dan tanah. Kemudian pada zaman Bani Abbasiyah,
jihbiz sebagai individu populer
sebagai profesi yang berkenaan dengan penukaran uang. Pada zaman itu kemudian
berkembang jihbiz yang melakukan
penukaran uang, menerima titipan dana, dan meminjamkan uang (Karim Business
Consulting, 2001, Islam dan Perbankan Syariah).
Selanjutnya
mengenai Keuangan Negara Islami ini secara konsisten telah dibahas oleh para
pemikir-pemikir Islam dalam Fase Pertama, mulai dari Abu Yusuf (731-798M) dalam
Kitab Al-Kharaj, Muhammad Bin Hasan
Al-Syaibani (750-804 M) dalam Kitab
al-iktisan fi’il Rizq al-Mustatab, Abu ‘Ubaid al-Qasim Ibn Sallam (838 M)
dalam Kitab al-Amwal, Mawardi (1058
M) dalam buku Al-Ahkam al-Sultaniyyah.
Hal itu berlanjut pada Fase Kedua oleh Imam Al-Ghazali (1055-1111 M) dalam buku
Ihya’ Ulum al-Din, Ibn Taimiyah
(1263-1328 M) dalam bukunya Al-siyasah
al-Shari’ah fi Islah al-Rab’iayah, Ibn Khaldun (1332-1404 M) dalam bukunya Muqaddimah. Pada Fase Ketiga dilanjutkan
oleh Shah Wali Allah (1703-1762 M) dengan bukunya Hujjah Allah al-Balighah, Muhammad Iqbal (1873-1938 M) dalam
bukunya Puisi (poet) dari Timur, dan
fase sekarang sejak tahun 1932 (Karnaen A. Perwataatmadja, “Alur Pemikiran
Ekonomi Islam Menurut Urutan Waktu”, UIN Jakarta, 2006).
Konsep
teoritis tentang bank Islam modern kemudian muncul pada 1940, dan gagasan lebih
konkret disampaikan oleh Anwar Qureshi (1946), Naiem Sidiqi (1948), Mahmud
Ahmad (1952), dan Muhammad Hamidullah (1962). Kemudian Malaysia mendirikan
Pilgrim’s Managemen Fund (1962), Mit-Ghamr, Mesir (1963). Gagasan berdirinya bank
Islam pada tingkat internasional muncul dalam konferensi negara-negara Islam di
Kuala Lumpur pada 27 April 1969, dan Bank swasta bebas bunga pertama kali
adalah Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank, Mesir (1977), dan Kuwait
Finance House (1977). Pada 20 Oktober 1975 Islamic Development Bank (IDB)
didirikan secara resmi oleh 22 anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI),
termasuk Indonesia (Sutan Remy Sijahdeni, Perbankan
Syariah Produ-Produk dan Aspek-Aspek Hukumnya (PT Jayakarta Agung Offset,
Jakarta, 2010), h. 47)
No comments:
Post a Comment